Google search engine
BerandaArtikelMakna Bid'ah dan Ahlul Bid'ah

Makna Bid’ah dan Ahlul Bid’ah

fokusbangsa.com – Bid’ah berasal dari kata kerja bada’a yang maknanya menciptakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Jika disebutkan ibtada’a fulanun bid’atan, maknanya dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang mendahuluinya. Dan maksud perkataan hadza amrun badi’un digunakan untuk sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang menyerupai sebelumnya.

Dari makna bahasa seperti itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama. Jadi, membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikutinya disebut bid’ah. Suatu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah dikerjakan orang juga disebut bid’ah.

Dari pengertian tersebut, suatu amalan yang dilakukan tanpa adanya dalil syar’i disebut bid’ah. Pemakaian kata bid’ah di sini lebih khusus dari pada makna asalnya secara bahasa. Jadi, makna bid’ah bisa kita definisikan sebagai suatu cara baru dalam agama, yang menandingi syari’at, Di mana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah.

Makna kata ‘cara’ pada definisi di atas ialah sesuatu yang telah ditetapkan untuk dijalani, yang pelakunya menyandarkan hal tersebut kepada agama. cara baru dalam

masalah keduniaan tidaklah disebut bid’ah, seperti membuat alat-alat modern dan lainnya meskipun hal itu belum dikenal sebelumnya. Yang dimaksudkan dalam definisi di atas adalah khusus tata cara dalam agama yang tidak memiliki sumber sandaran dari pembuat syari’at. Dan ciri bid’ah adalah keluar dari apa yang telah digariskan oleh pembuat syari’at. Dengan batasan ini, tidak termasuk bid’ah cara-cara baru yang masih ada kaitannya dengan masalah agama, seperti ilmu nahwu, shorof, ushul fikih dan ilmu ilmu lainnya yang menopang syari’at. Karena, meskipun ilmu ilmu tersebut tidak ada pada zaman Nabi, akan tetapi pokok pokok kaidahnya telah ada dalam syari’at.

Makna kata ‘menandingi syari’at’ dalam definisi di atas maksudnya adalah menyerupai cara yang ada dalam syari’at, tetapi sebenarnya tidak termasuk syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at. Bid’ah bertentangan syari’at dengan syarat bisa dipandang dari beberapa sisi:

Pertama, menetapkan batasan-batasan, seperti seorang yang bernadzar untuk puasa sambil berdiri dan tidak mau duduk, sambil berjemur dan tidak mau berteduh dan yang lainnya. Kedua, menetapkan cara tertentu, seperti dzikir secara bersama-sama dan yang lainnya. Ketiga, membiasakan ibadah-ibadahc tertentu di waktu-waktu tertentu yang tidak ada ketentuannya dalam syari’at, seperti sholat di malam pertengahan bulan sya’ban dan yang lainnya.

Masih ada hal-hal lain yang menjadikan bid’ah dikatakan menandingi syari’at, akan tetapi tiga hal tersebut cukup menjadi contohnya. Adapun pernyataan “dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah” dalam definisi di atas maka itulah esensi dari perbuatan bid’ah. Itulah maksud dan tujuan dibuatnya bid’ah yang menyebabkan perbuatan tersebut terlarang.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Bid’ah di dalam agama (syariat) adalah apa yang tidak disyariatkan Allah dan RasulNya, yaitu apa yang tidak diperintahkan untuk berbuat dan beramal dengannya, tidak perintah wajib tidak pula perintah Sunnah.”(Lihat: majmu fatwa 4/107-108)

Beliau berkata lagi,” Bid’ah adalah apa-apa yang menyelisihi Al Qur’an, AsSunnah dan kesepakatan pendahulu ummat (ijma’) berupa perkara I’tiqod dan ibadahibadah seperti perkataan Khawarij, Rafidhah, Qodariyyah, Jahmiyah, dan orang-orang yang beribadah dengan menari, bermain alat musik di masjid-masjid, beribadah dengan mencukur jenggot, memakan tanaman yang memabukkan (seperti ganja dan semisalnya-red). Seluruhnya perkara bid’ah yang dijadikan sarana untuk beribadah oleh segolongan orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah.” [lihat Majmu fatawa 18/246].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyebutkan definisi bid’ah, “Apa yang dibuat-buat pada urusan agama ini yang menyelisihi Rasulullah dan para Sahabat dari perkara aqidah maupun amalan.[Lihat: Syarh Lu’matul Itiqod ,23]

Demikian pula definisi bid’ah yang dinyatakan oleh Imam Syatibi, “Bid’ah adalah suatu jalan yang dibuat-buat dalam urusan agama ini yang menyerupai syariat dan dijalankan dengan sungguh dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.”[lihat: Al I’tishom 1/50]

maksud bersungguh mendefinisikan bid’ah,” adalah apa-apa Imam Ibnu Rajab-rahimahullah-yang yang dibuat/diadakan tanpa ada asalnya di dalam syariat yang menunjukkan perbuatan tersebut. Adapun yang ada asalnya dari syariat menunjukkan perbuatan tersebut bukan bukanlah suatu bid’ah menurut syari’at walaupun dikatakan bid’ah secara bahasa.” [lihat: Jamiul Uluw Wal Hikam hal 265]

Setelah kita pahami pendapat para ulama tentang definisi bid’ah, maka perlu dibahas siapakah yang dikatakan ahlul bid’ah agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menghukumi seseorang sebagai ahlul bid’ah. Karena ini adalah suatu perkara yang amat sangat penting yang harus diketahui, karena dengan mengetahui siapa ahlul bid’ah kita dapat mensikapi mereka sebagaimana yang dicontohkan oleh Salafush Shalih.

Definisi tentang ahlul ahwa’ dan ahlul bid’ah ini sangat tepat, ditinjau dari dua segi Pertama, Hawa/ahwa adalah lawan dari mengikuti nash, dan Allah telah menjadikan mengikuti hawa nafsu sebagai lawan dari mengikuti perintahNya. Kedua, Membuat bid’ah pada suatu perkara yang sudah terkenal bahwa hal tersebut adalah menyelisihi Al Qur’an dan As-Sunnah, Maka barangsiapa yang berbuat demikian ia termasuk kategori ahlul ahwa’.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Ahlul bid’ah adalah sebutan bagi orang yang kebid’ahannya termasuk dari perkaraperkara yang sudah terkenal di kalangan ulama tentang penyelisihannya dari Al Qur’an dan As Sunnah, bukan pada masalah-masalah yang mendetail yang tersembunyi dan sebagian manusia. Wallahu a’lam.

Penulis : Ryan Arief Rahman

RELATED NEWS

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Komentar